Selamat Hari Kartini: Cahaya yang Tak Pernah Padam Hingga Kini

Film Kartini yang tayang di Netflix bukan sekadar tontonan sejarah. Kisah ini adalah kisah pilu yang meremas hati, membuka mata, dan membakar semangat perempuan muda Indonesia. Sebab itulah, film ini membawa kita menyelami perjalanan hidup Raden Ayu Kartini yang lahir dari keluarga bangsawan, tetapi harus menghadapi penindasan tradisi. Inilah kisah singkat film Kartini, sosok yang cahayanya tak pernah padam hingga kini.

1. Kartini yang Terasing dari Ibu Kandungnya

Tangkapan layar pribadi dari film Kartini di netflix.
foto/Netflix. Tangkapan layar pribadi dari film Kartini.

Pada tahun 1883 di Jepara, seorang anak kecil menangis karena tak diizinkan tidur bersama ibunya. Ngasirah, ibu kandung Kartini yang biasa dipanggil “Yu”, diperlakukan seperti pembantu rumah tangga. Pada mulanya, hal ini terjadi karena aturan kolonial pada masa itu yang mewajibkan seorang bupati untuk menikahi perempuan dari darah bangsawan tinggi. Ayah Kartini, R.M. Sosroningrat, terpaksa menikah lagi dengan R.A. Woerjan demi jabatan sebagai bupati.

Status Ngasirah sebagai perempuan dari kalangan rakyat biasa membuatnya harus menerima kenyataan bahwa ia dicopot identitasya sebagai seorang ibu, Ngasirah harus menerima dipanggil “Yu” dan tak bisa mendampingi anak-anaknya sebagai ibu kandung. Betapa sedihnya perasaan Kartini kecil pada saat itu tidak bisa lagi memanggil ibu kandungnya sebagai ibu. Setelah itu, karena keturunan bupati ia resmi menyandang gelar Raden Ayu. Oleh karena itu, Seorang anak perempuan dari keluarga bupati, baik dari istri bangsawan maupun bukan, wajib menyandang gelar Raden Ayu.

2. Pingitan: Takdir Kartini Sang Perempuan Bangsawan

Tangkapan layar film Kartini di Netfix. Kartini dipingit.
foto/Netflix. Tangkapan layar pribadi dari film Kartini.

Pingitan adalah tradisi Jawa yang menetapkan bahwa saat seorang perempuan bangsawan mendapatkan haid pertama, ia harus dipingit—dikurung dalam rumah tanpa akses ke dunia luar. Mereka hanya boleh keluar saat telah dilamar oleh laki-laki bangsawan, entah menjadi istri pertama, kedua, atau bahkan ketiga.

Dunia mereka seketika terbatasi dan terhalang oleh tembok rumah. Mereka hidup sebagai perempuan yang hanya merawat tubuhnya, memasak di dapur, mempelajari tradisi Jawa yang dapat merendahkan posisi perempuan dan mereka hidup hanya untuk sebuah pernikahan.

Kakaknya Sosrokartono yang belajar di Belanda memberikan ia buku-buku yang membuat dunia Kartini terasa bebas. Melalui buku, ia belajar berpikir kritis, mempertanyakan tradisi, dan menumbuhkan keberanian untuk melawan sistem. Ia menyadari bahwa pendidikan adalah jalan pembebasan bagi dirinya, adik-adiknya dan perempuan di luar sana.

3. Membaca dan Menulis untuk Melawan Tradisi

Tangkapan dari film Kartini di Netflix. Keadaan yang lahir dari tradisi Jawa
foto/Netflix. Tangkapan layar pribadi dari film Kartini.

Kartini mulai menulis surat dan artikel yang membahas isu pernikahan dini, ketimpangan gender, dan ketidakadilan terhadap perempuan. Namun, perjuangannya tak selalu mulus. Salah satu kakaknya sempat merasa Kartini telah melampaui batas sebagai perempuan Jawa. Untungnya, ia mendapat dukungan dari sahabat pena asal Belanda, Stella, yang memberinya semangat untuk terus berkarya.

Kartini tidak hanya menyerap ilmu, tapi juga menularkan semangatnya kepada dua adiknya: Kardinah dan Roekmini. Mereka bertiga menjadi pelopor pemikiran perempuan Jawa yang ingin bebas, belajar, dan berkarya. Namun, mereka harus kembali menghadapi realitas pahit ketika adiknya, Kardinah, dipaksa menikah dengan wakil bupati yang telah memiliki istri. Peristiwa ini menghancurkan hati Kartini dan Roekmini. Mereka menyaksikan kembali betapa sistem patriarki tak memberi ruang bagi perempuan untuk memilih.

4. Cita-Cita Sekolah di Belanda dan Perjuangan Terakhir

Tangkapan layar film Kartini
foto/Netflix. Tangkapan layar pribadi dari film Kartini.

Kartini tak menyerah. Ia mengajukan beasiswa ke Belanda dengan dukungan Stella. Setelah perjuangan keras, ia lolos seleksi! Tapi, kebahagiaan itu singkat. Ayahnya meminta ia menikah dengan Bupati Rembang yang sudah beristri, Raden Adipati Joyodiningrat. Ia menyetujui dengan beberapa syarat: ia menolak adat pernikahan yang merendahkan perempuan, seperti berjalan jongkok dan mencium kaki suami. Ia juga ingin tetap melanjutkan mimpinya: membangun sekolah untuk perempuan miskin dan membuat ibunya kembali dipanggil “Ibu”.

5. Sekolah untuk Perempuan dan Warisan Abadi

foto/Netflix. Tangkapan layar pribadi dari film Kartini.

Meski tak jadi berangkat ke Belanda untuk sekolah, ia tetap mendirikan sekolah untuk perempuan di Rembang dengan dukungan suaminya. Surat beasiswa resmi dari Belanda pun tetap dikirim padanya—sebagai pengakuan atas semangatnya yang luar biasa. Dari kisah ini kita tahu bahwa perubahan bisa dimulai ketika pikiran dan pandangan kita luas terhadap dunia dan percaya bahwa kemungkinan itu ada dan bisa terjadi kepada siapa saja yang meiliki keinginan tulus dan kuat.

Hari ini, kita hidup dalam dunia yang lebih bebas karena ada perempuan sekuat dan secemerlang Kartini. Semoga kisahnya terus menginspirasi—bukan hanya sebagai simbol, tapi sebagai api semangat untuk terus belajar, berpikir kritis, dan memperjuangkan yang benar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *